-
Perkara pertama
Tahiyatul masjid disyari’atkan disetiap waktu, karena ia termasuk zawaatul asbab (ibadah yang terkait dengan sebab). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taymiah dan dikatakan oleh Majduddin Abu al-Burkan, Ibnu al-Jauzi dan selain mereka.[6] Pendapat ini juga yang dipilih oleh syaikh kami Muhammad bin Utsaimin dan dia menshahihkannya[7] juga Syaikh Ibnu Baz.[8]
-
Perkara kedua
Waktu mengerjakan tahiyatul masjid adalah ketika masuk masjid sebelum duduk. Jika dia sengaja duduk dan menyadarinya, tidak disyari’atkan baginya kembali berdiri untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid karena waktunya telah usai.
-
Perkara ketiga
Seseorang yang masuk masjid karena tidak tahu atau lupa langsung duduk sebelum shalat tahiyatul masjid, disyari’atkan baginya berdiri dan melaksanakan dua rakaat tahiyatul masjid, karena bagi yang berudzur waktunya belum berlalu, dengan syarat antara duduk dan shalatnya tidak berselang lama.[9]
-
Perkara keempat
Hukum melaksanakan tahiyatul masjid adalah sunnah, berbeda dengan mereka yang mengatakan wajib. An-Nawawi menyampaikan ijma (kesepakatan ulama) akan hal itu.[10]
-
Perkara kelima
Ketika seseorang masuk masjid dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, yang disyari’atkan baginya adalah menjawab seruan adzan dan mengakhirkan pelaksanaan tahiyatul masjid agar mendapatkan keutamaan menjawab seruan adzan. Namun jika masuk masjid pada hari jum’at dan adzan khutbah (adzan kedua) telah dimulai, hendaknya mendahulukan tahiyatul masjid daripada menjawab seruan adzan, karena mendengar khutbah lebih penting.[11]
-
Perkara keenam
Siapa yang masuk masjid pada hari jum’at dan imam sedang berkhutbah, disunnahkan baginya melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid dan meringankannya (tidak memanjangkan). Makruh (dibenci) jika meninggalkannya.[12] Hal ini sebagaimana hadits:
فَلاَ يَجْلِس حَتَّى يُصَلّيِ رَكْعَتَيْنِ
“Janganlah duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.”[13]
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلِيَتَجَوَّز فِيْهِمَا
“Hendaklah melakukan shalat dua rakaat dan meringankan keduanya (tidak memanjangkannya).”[14]
Adapun jika khatib sudah hampir selesai dari khutbahnya, dan orang yang masuk yakin jika dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid dia tidak akan mendapat rakaat pertama shalat jumu’at, maka hendaknya berdiri sampai dikumandangkan iqomat shalat dan tidak duduk, agar jangan sampai duduk sebelum shalat tahiyatul masjid.
-
Perkara ketujuh
Tahiyatul masjid untuk Masjid al–Haram (Mekkah) adalah Towaf menurut kebanyakan ahli fiqih. An-Nawawi berkata: “Tahiyatul Masjid al–Haram adalah Towaf bagi mereka yang datang, adapun bagi mereka yang mukim (tinggal di Mekkah) baik Masjid al-Haram atau masjid yang selainnya adalah sama.[15]
Boleh jadi maksud (perkataan an-Nawawi) adalah bagi mereka yang tidak bermaksud melakukan Towaf. Adapun bagi mereka yang ingin Towaf, maka towafnya itu sudah menggantikan dua rakaat tahiyatul masjid. Ini lah pendapat yang benar.[16]
-
Perkara kedelapan
Shalat sunnah raatibah qobliah[17] sudah menggantikan tahiyatul masjid. Karena maksud dari tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, dan itu sudah terdapat pada shalat sunnah raatibah yang dilakukannya. Jika dalam shalatnya dia berniat melakukan shalat tahiyatul masjid dan sunnah raatibah atau tahiyatul masjid dan shalat fardhu (shalat wajib yang lima waktu), maka dia telah mendapat semuanya. An-Nawawi berkata: “Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.”[18]
-
Perkara kesembilan
Tahiyatul masjid tidak cukup hanya dengan satu rakaat. Tidak pula tergantikan oleh shalat jenazah, sujud tilawah atau sujud sukur.[19]
-
Perkara kesepuluh
Jika imam masjid mencukupkan diri dengan shalat maktubah[20] dari pada mengerjakan tahiyatul masjid (ketika masuk masjid) karena dekatnya waktu iqomat shalat, hal itu sudah cukup.[21]
Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata, “Dahulu Bilal menyerukan adzan jika matahari telah tergelincir sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar[22]. Ketika Nabi keluar Bilal segera menyerukan iqomat seketika melihat beliau.[23]
Apabila imam ingin duduk, disyari’at melakukan shalat tahiyatul masjid seperti yang lainnya. Sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada[24]. Didalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذاَ دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسُ حَتىَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, maka janganlah duduk sampai melaksanakan shalat dua rakaat.”[25]
Jika melaksanakan shalat di tempat terbuka, maka tidak ada shalat tahiyatul masjid,[26] kecuali jika singgah di suatu masjid dalam perjalanannya. Pada saat itulah dia boleh melakukannya. Jika diniatkan tahiyatul masjid dan shalat faridhah secara bersamaan hal itu lebih benar.
-
Perkara kesebelas
Tidak disyari’atkan bagi imam melakukan shalat tahiyatul masjid sebelum shalat Jum’at atau shalat ‘Id. Hendaknya memulai dengan khutbah ketika Jum’at[27] dan dengan shalat ketika ‘Id (pada hari ‘Id), karena demikianlah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan makmum disyari’atkan melakukan tahiyatul masjid[28] di tempat penyelenggaraan shalat ‘Id sebelum duduk, sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada. Sama saja apakah shalat ‘Id dilaksanakan di masjid atau di mushola, karena tempat itu dihukumi seperti masjid.
Hal ini sebagaimana dalil yang terdadpat pada hadits Ummu ‘Athiah –semoga Allah meridoinya-, dia berkata,
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ اَلْعَوَاتِقَ, وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ; يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى
“Nabi memerintahkan kami para gadis dan yang haidh agar keluar menghadiri pelaksanaan shalat dua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, dan bagi yang haidh hendaknya berada diluar mushala.[29]
Atas dasar inilah Syahikh kami, Muhammad bin Utsaimin berpendapat, yang juga merupakan pendapat Madzhab Syafi’i[30] dan dishahihkan oleh penulis al-Inshaf dan al-Furuu’[31].
-
Perkara kedua belas
Disunnahkan bagi yang telah selesai mengerjakan shalat faridhah (di tempatnya) kemudian datang ke suatu masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah agar ikut melakukan shalat bersama mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذاَ صَلَيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلَيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Jika kalian berdua telah melaksanakan shalat ditempat kalian, kemudian datang ke masjid (yang sedang melaksanakan shalat) jamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya shalat kalian itu adalah nafilah (ibadah sunnah[32]
Dengan demikian, shalat faridhah yang dilakukannya cukup menggantikan tahiyatul masjid, dan itu terhitung sebagai ibadah nafilah (sunnah). Sedang shalat wajibnya adalah yang dia kerjakan pertama kali ditempatnya, karena dengan shalat pertama itulah dia telepas dari kewajiban.
Perkara ini banyak terjadi pada masjid yang diselenggarakan disitu shalat jenazah, pengajian dan sebagainya. Barang siapa yang shalat bersama imam hendaknya menyempurnakan shalatnya, sebagaimana keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apa yang kalian dapatkan (dari rakaat) maka (lanjutkan) shalat kalian, dan apa yang luput dari kalian, maka sepurnakanlah.” [33]
Yang demikian ini lebih utama. Jika dia hanya mendapatkan dua rakaat bersama imam, boleh salam (menyelesaikan shalatnya) bersama imam. Adapun jika kurang dari itu, yang sunnah adalah menyempurnakannya menjadi dua rakaat lalu salam.[34]
Jika dia duduk setelah masuk masjid atau menunggu sampai usainya shalat berjamaah hal itu adalah menyelisihi sunnah dan menunjukkan kebodohan orang yang bersangkutan. Kita meminta kepada Allah agar mengajarkan kita ilmu yang bermanfaat dan memberi manfaat dengan ilmu yang telah kita pelajari, karena sesungguhnya Dia pemilik kemurahan dan kemulian. Amin. Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
Comments
Post a Comment