Kitab Shalat: Menjama' Dua Shalat

Menjama' Dua Shalat

Menjama' dua shalat adalah salah satu keringanan yang diberikan dalam agama Islam untuk mempermudah pelaksanaan ibadah bagi umatnya dalam kondisi tertentu. Praktik ini dilakukan dengan menggabungkan dua waktu shalat, seperti Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya, menjadi satu waktu pelaksanaan. Tata cara ini didasari oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis serta pengalaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama ketika dalam perjalanan, saat kondisi cuaca ekstrem, atau keadaan yang memerlukan keringanan. Menjama' dua shalat mencerminkan fleksibilitas syariat Islam yang tetap menjaga kewajiban ibadah sekaligus memberikan kemudahan bagi umat.

Berikut ini sebab-sebab untuk dapat mejama' dua Shalat:

  1. Safar

    Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur hingga waktu ‘Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu menjama’ keduanya. Dan jika matahari sudah tergelincir sebelum melakukan perjalanan, maka beliau shalat Zhuhur lalu naik kendaraan.”[1]

    Dari Mu’adz Radhiyallahu anhu: “Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur sampai waktu ‘Ashar. Kemudian beliau menjama’ kedua shalat tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar lalu berangkat. Bila bepergian sebelum Maghrib, beliau akhirkan Maghrib hingga menjama’nya dengan ‘Isya. Bila bepergian setelah Maghrib, beliau mengawalkan waktu ‘Isya dan menjama’nya dengan Maghrib.”[2]

    Masih dari Mu’adz: “Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan ‘Isya’.” Dia berkata lagi: “Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat. Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan dijama’. Setelah itu beliau masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi lalu shalat Maghrib dan ‘Isya dengan dijama’.”[3]

  2. Hujan

    Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, “Jika ‘Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengumpulkan para amir (gubernur) antara Maghrib dan ‘Isya’ ketika hujan, maka dia menjama’ shalat bersama mereka.”

    Dari Hisyam bin ‘Urwah: “Ayahnya -‘Urwah-, Sa’id bin al-Musayyib, dan Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah menjama’ shalat Maghrib dengan ‘Isya’ pada suatu malam ketika hujan turun. Mereka menjama’ kedua shalat tersebut tanpa ada yang mengingkari.”[4]

    Dari Musa bin ‘Uqbah, “Ketika turun hujan, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah menjama’ shalat Maghrib dengan ‘Isya’ di akhir waktu. Sedangkan Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdurrahman, beserta para ulama zaman itu bermakmum di belakangnya. Namun, mereka tidak mengingkari perbuatan tersebut.”[5]

    Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan ‘Isya’, tidak dalam keadaan takut maupun safar.”[6]

    Dia juga berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar dan shalat Maghrib dengan ‘Isya di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”[7]

    Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma memberikan indikasi bahwa menjama’ shalat ketika hujan sudah diketahui pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak demikian, maka tidak ada gunanya menyebutkan kalimat “tanpa hujan” sebagai alasan dibolehkannya menjama’ shalat.”[8]

  1. Kebutuhan Mendesak

    Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun dalam perjalanan.” Abu az-Zubair berkata, Lalu aku bertanya pada Sa’id, ‘Kenapa beliau melakukannya?’ Dia menjawab, ‘Aku pernah bertanya hal yang sama kepada Ibnu ‘Abbas. Lalu dia berkata, ‘Beliau tidak ingin memberatkan salah seorang pun dari umatnya.’”[9]

    Masih dari Ibnu ‘Abbas, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan ‘Isya di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya, “Apa maksud di balik perbuatan beliau itu?” Dia menjawab, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.”

    Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (V/219), “Sejumlah imam berpendapat tentang bolehnya menjama’ shalat dalam keadaan mukim bagi orang yang tidak menjadikannya kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, pengikut Imam Malik. Al-Khaththabi meriwayatkan pendapat ini dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabiir, pengikut imam asy-Syafi’i, dari Abu Ishaq al-Marwazi, dari mayoritas kalangan ahli hadits. Ibnul Mundzir juga memilih pendapat ini. Pendapat ini diperkuat oleh zhahir perkataan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma : “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.” Dia tidak menyebutkan alasan sakit atau yang lainnya. Wallaahu a’lam.”


Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]


Footnote:
  1. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/583 no. 1112)], Shahiih Muslim (I/489 no. 704), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/58 no. 1206), dan Sunan an-Nasa-i (I/284).
  2. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1067)], Ahmad (Fat-hur Rabbaani) (V/120 no. 1236), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/75 no. 1196), dan Sunan at-Tirmidzi (II/33 no. 551).
  3. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1065)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/72 no. 1194), Sunan an-Nasa-i (I/284), Muslim dan Ibnu Majah hanya meriwayatkan bagian pertama saja di Shahiih Muslim (I/490 no. 706), dan Sunan Ibni Majah (I/340 no. 1070).
  4. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/40)], Muwaththa’ al-Imam Malik (hal. 102 no. 328).
  5. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/40)] dan al-Baihaqi (III/168, 169).
  6. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 1068)].
  7. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 1070)], Shahiih Muslim (I/489 no. 705), Sunan an-Nasa-i (I/290), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/ 77 no. 1198), dengan tambahan kalimat terakhir.
  8. Ucapan al-Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil (III/40).
  9. Telah ditakhrij sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Fidyah: Pengertian, Hukum, dan Ketetuannya Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa. Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kunci Rezeki dan Sebab Datangnya
Rezeki adalah anugerah dari Allah yang senantiasa dicari oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami bahwa rezeki tidak hanya datang melalui usaha fisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh amalan dan sikap hati yang benar. Dalam ajaran Islam, terdapat kunci-kunci yang dapat membuka pintu rezeki serta sebab-sebab yang mendatangkannya. Faktor-faktor ini meliputi hubungan yang erat dengan Allah melalui ibadah, istighfar, dan doa, serta tindakan menjauhi maksiat dan menjaga ketakwaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang kunci-kunci rezeki tersebut serta hikmah di balik sebab-sebab datangnya rezeki yang penuh berkah.
Jual Beli Yang Diharamkan
Dalam ajaran Islam, prinsip jual beli tidak hanya dilandasi oleh keuntungan materi, tetapi juga mempertimbangkan etika dan moralitas. Ada berbagai bentuk jual beli yang dinilai tidak sesuai dengan hukum syariah karena melibatkan kecurangan, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap aturan agama. Praktik-praktik seperti riba, penipuan, judi, serta penjualan barang haram seperti khamar dan babi, semuanya dilarang karena berdampak negatif pada individu maupun masyarakat. Larangan ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan penuh berkah, sehingga hubungan antara penjual dan pembeli dapat berjalan dengan harmonis sesuai nilai-nilai Islam.
Riba: Pengertian dan Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Pendahuluan Riba adalah konsep dalam Islam yang melarang pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan dari pinjaman atau transaksi keuangan. Dalam Islam, riba dianggap tidak adil dan merugikan pihak yang berhutang. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dikembangkan untuk menawarkan alternatif yang lebih adil dan etis.
Kitab Shalat: Tata Cara Makmum Mengikuti Imam
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya. Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
QA: Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Fidyah bagi wanita hamil dan menyusui dapat berupa pemberian makanan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adanya keringanan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan dalam ajaran Islam, yang memperhatikan kondisi individu dan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang memiliki keterbatasan.