Kitab Shalat: Dzikir dan Do’a Setelah Shalat

Dzikir dan Doa Setelah Shalat

Dzikir dan do’a setelah shalat merupakan bagian penting dari ibadah yang membantu memperkuat hubungan seorang hamba dengan Allah. Setelah menunaikan shalat, disyariatkan untuk melafalkan dzikir dan do’a tertentu sebagai bentuk syukur, permohonan ampunan, serta pengharapan terhadap rahmat dan keberkahan dari-Nya. Amalan ini juga menjadi sarana untuk menyempurnakan ibadah shalat dan menenangkan hati. Pada kesempatan ini kami coba sampaikan dzikir dan do'a yang disyari'atkan setelah shalat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Berikut ini Dzikir Dan Do’a yang Disyari’atkan Setelah Shalat:

  1. Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau beristighfar tiga kali dan mengucap:

    “اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَـارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَام.”

    “Ya Allah, Engkaulah Pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan. Mahasuci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.”

    Al-Walid berkata, “Aku berkata pada al-Auza’i: “Bagaimana istighfar itu?” Dia berkata: “Ucapkanlah[1]: “أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ.”

  2. Dari Abu az-Zubair, dia berkata, “Dulu, ketika Ibnu az-Zubair selesai salam pada akhir shalat, dia mengucap:

    “لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.”

    “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya seluruh kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) Allah. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah. Kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat, anugerah, dan pujian yang baik. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.”

    Dia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertahlil dengan do’a tersebut pada akhir setiap shalat.”[2]

  3. Dari Warrad bekas budak al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata, “Al-Mughirah bin Syu’bah menulis surat kepada Mu’awiyah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai shalat dan salam, beliau mengucap:

    “لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، اَللّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.”

    “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan haq selain Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya-lah segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala se-suatu. Ya Allah, tidak ada yang menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau tahan. Tidaklah bermanfaat bagi pemilik kekayaan. Karena dari-Mu-lah kekayaan itu.“[3]*

  1. Dari Ka’b bin ‘Ujrah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm, beliau bersabda:

    مُعَقَّبَاتٌ لاَ يُخِيْبُ قَائِلُهُنَّ -أَوْ فَاعِلُهُنَّ- : ثَلاَثَ وَثَلاَثُوْنَ تَسْبِيْحَةٍ، وَثَلاَثُ وَثَلاَثُوْنَ تَحْمِيْدَةٍ، وَأَرْبَعُ وَثَلاَثُوْنَ تَكْبِيْرَةٍ، فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ.

    “Do’a setelah shalat yang tidak akan merugi orang yang membacanya atau yang melakukannya: tigapuluh tiga tasbih, tigapuluh tiga tahmid, dan tigapuluh empat takbir, pada akhir setiap shalat.“[4]

    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    مَنْ سَبَّحَ اللهَ ِفِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَحَمَّدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، فَتِلْكَ تِسْعَةُ وَتِسْعُوْنَ، وَقَالَ: تَمَامُ الْمِائَةِ: “لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ ْالْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلـى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،” غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلُ زُبَدِ الْبَحْرِ.

    “Barangsiapa bertasbih kepada Allah tigapuluh tiga kali pada akhir setiap shalat, bertahmid kepada Allah tigapuluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tigapuluh tiga kali, hingga semua itu mencapai sembilan puluh sembilan. Kemudian menyempurnakan seratus dengan membaca: “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan haq selain Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” Maka di-ampunilah dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.“[5]

  2. Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tanganku dan berkata, ‘Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.’ Lalu aku berkata, “Ayah-ibuku menjadi penebus engkau, demi Allah, sesungguhnya aku juga benar-benar mencintaimu.” Beliau berkata, ‘Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku berwasiat kepadamu. Janganlah engkau tinggalkan untuk mengucapkan pada akhir tiap shalat:

    “اَللّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.”

    “Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”[6]

  3. Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِـيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ.

    “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada akhir tiap shalat wajib, maka tidak ada yang menghalanginya masuk Surga kecuali mati.”[7]

    Muhammad bin Ibrahim menambahkan dalam haditsnya: “Dan (surat) Qul Huwwallahu Ahad.”

  4. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm menyuruhku membaca al-mu’awwidzat (surat al-Falaq dan an-Naas) pada setiap akhir shalat.”[8]

  5. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhu. Dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salam shalat Shubuh, beliau membaca:

    “اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.”

    “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.“[9]


Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]


Footnote:
  1. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 756)], Shahiih Muslim (I/414 no. 591), Sunan at-Tirmidzi (I/184 no. 299), Sunan an-Nasa-i (III/68), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/377 no. 1499), dan Sunan Ibni Majah (I/300 no. 928).
  2. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1272)], Shahiih Muslim (I/415 no. 594), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/372 no. 1493), dan Sunan an-Nasa-i (III/70).
  3. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/325 no. 844)], Shahiih Muslim (I/414 no. 593), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/371 no. 1491).
    * Al-jadd adalah kedudukan atau bagian kekayaan. Maksudnya, hal itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya jika ia tidak mempunyai amal shalih
  4. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1278)], Shahiih Muslim (I/418 no. 596), Sunan at-Tirmidzi (V/144 no. 3473), dan Sunan an-Nasa-i (III/75).
  5. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 314)] dan Shahiih Muslim (I/418/597).
    Catatan: Terdapat beberapa riwayat tentang jumlah dzikir. Pada Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/132/no. 6329), “Sepuluh-sepuluh.” Pada Shahiih Muslim (I/417/ no. 595 (143)), “Sebelas-sebelas.” Pada Sunan an-Nasa-i (III/76), Shahiih Sunan an-Nasa-i (1279), “Duapuluh lima-duapuluh lima ditambah tahlil.” Hendaknya orang yang shalat terkadang membaca bilangan yang ini dan ter-kadang membaca yang itu.
  6. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7969)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/384 no. 1508), dan Sunan an-Nasa-i (III/53).
  7. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6464)] dan ath-Thabrani dalam ash-Shagiir (VIII/134 no. 7532).
  8. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1268)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/385 no. 1509), dan Sunan an-Nasa-i (III/68).
  9. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 753)], Sunan Ibni Majah (I/298 no. 925), dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (IV/55 no. 776).

Comments

Popular posts from this blog

Fidyah: Pengertian, Hukum, dan Ketetuannya Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa. Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kunci Rezeki dan Sebab Datangnya
Rezeki adalah anugerah dari Allah yang senantiasa dicari oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami bahwa rezeki tidak hanya datang melalui usaha fisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh amalan dan sikap hati yang benar. Dalam ajaran Islam, terdapat kunci-kunci yang dapat membuka pintu rezeki serta sebab-sebab yang mendatangkannya. Faktor-faktor ini meliputi hubungan yang erat dengan Allah melalui ibadah, istighfar, dan doa, serta tindakan menjauhi maksiat dan menjaga ketakwaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang kunci-kunci rezeki tersebut serta hikmah di balik sebab-sebab datangnya rezeki yang penuh berkah.
Jual Beli Yang Diharamkan
Dalam ajaran Islam, prinsip jual beli tidak hanya dilandasi oleh keuntungan materi, tetapi juga mempertimbangkan etika dan moralitas. Ada berbagai bentuk jual beli yang dinilai tidak sesuai dengan hukum syariah karena melibatkan kecurangan, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap aturan agama. Praktik-praktik seperti riba, penipuan, judi, serta penjualan barang haram seperti khamar dan babi, semuanya dilarang karena berdampak negatif pada individu maupun masyarakat. Larangan ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan penuh berkah, sehingga hubungan antara penjual dan pembeli dapat berjalan dengan harmonis sesuai nilai-nilai Islam.
Riba: Pengertian dan Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Pendahuluan Riba adalah konsep dalam Islam yang melarang pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan dari pinjaman atau transaksi keuangan. Dalam Islam, riba dianggap tidak adil dan merugikan pihak yang berhutang. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dikembangkan untuk menawarkan alternatif yang lebih adil dan etis.
Kitab Shalat: Tata Cara Makmum Mengikuti Imam
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya. Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
QA: Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Fidyah bagi wanita hamil dan menyusui dapat berupa pemberian makanan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adanya keringanan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan dalam ajaran Islam, yang memperhatikan kondisi individu dan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang memiliki keterbatasan.