Kitab Shalat: Sujud Sahwi

Sujud Sahwi

Sujud Sahwi adalah salah satu bentuk ibadah dalam agama Islam yang dilakukan sebagai penutup kekurangan atau kesalahan yang tidak disengaja dalam pelaksanaan salat. Ibadah ini berupa dua kali sujud yang dilakukan setelah salam atau sebelumnya, tergantung pada kondisi tertentu. Allah mensyariatkan Sujud Sahwi sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada umat manusia, mengingat sifat lupa dan khilaf yang melekat pada diri manusia. Sujud ini membantu menyempurnakan salat dan menjaga kekhusyukan ibadah, sehingga setiap Muslim dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan lebih sempurna dan diterima oleh Allah.

Sujud sahwi: Dua sujud dalam shalat fardhu atau sunnah, dilakukan pada waktu duduk, setelahnya salam dan tidak tahiyat.

Hikmah disyari'atkannya. Allah menciptakan manusia mempunyai sifat lupa, dan setan selalu berusaha merusak shalatnya dengan lebih, atau kurang, atau ragu, dan Allah telah mensyari’atkan sujud sahwi untuk memarahkan setan, menambal kekurangan, dan meridhakan Allah.

Lupa dalam shalat pernah terjadi pada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena hal itu merupakan sifat kemanusiaan, oleh karena itu ketika lupa dalam shalatnya, beliau bersabda:

إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي. متفق عليه

“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, lupa seperti kamu lupa, apabila aku lupa maka ingatkanlah aku“. Muttafaq alaih[1]

Sebab-sebab sujud sahwi ada tiga: lebih, kurang, dan ragu.

Sujud sahwi ada empat hal:

  1. Apabila menambah perbuatan dari jenis shalat karena lupa, seperti berdiri, atau ruku’, atau sujud, misalnya ia ruku’ dua kali, atau berdiri di waktu ia harus duduk, atau shalat lima rakaat pada shalat yang seharusnya empat rakaat misalnya, maka ia wajib sujud sahwi karena menambah perbuatan, setelah salam, baik ingat sebelum salam atau sesudahnya.
  2. Apabila mengurangi salah satu rukun shalat, apabila ingat sebelum sampai pada rukun yang sama pada rakaat berikutnya, maka wajib kembali melakukannya, dan apabila ingat setelah sampai pada rukun yang sama pada rakaat berikutnya, maka tidak kembali, dan rakaatnya batal. Apabila ingat setelah salam, maka wajib melakukan rukun yang ditinggalkan dan seterusnya saja, dan sujud sahwi setelah salam. Jika salam sebelum cukup rakaatnya, seperti orang yang shalat tiga rakaat pada shalat yang empat rakaat, kemudian salam, lalu diingatkan, maka harus berdiri tanpa bertakbir dengan niat shalat, kemudian melakukan rakaat keempat, kemudian tahiyyat dan salam, kemudian sujud sahwi.
  3. Apabila meninggalkan salah satu wajib shalat, seperti lupa tidak tahiyat awal, maka gugur baginya tahiyyat, dan wajib sujud sahwi sebelum salam.
  4. Apabila ragu tentang jumlah rakaat, apakah baru tiga rakaat atau empat, maka menganggap yang lebih sedikit, lalu menambah satu rakaat lagi, dan sujud sahwi sebelum salam, apabila dugaannya lebih kuat pada salah satu kemungkinan, maka harus melakukan yang lebih yakin, dan sujud setelah salam.

Apabila melakukan sesuatu yang disyari’atkan bukan pada tempatnya, seperti membaca al-Qur’an di waktu ruku’, atau sujud, atau membaca tahiyat di waktu berdiri, maka shalatnya tidak batal, dan tidak wajib sujud sahwi, akan tetapi dianjurkan.

Apabila makmum ketinggalan imam dengan satu rukun atau lebih karena ada halangan, maka harus melakukannya dan menyusul imamnya.

Pada waktu sujud sahwi membaca dzikir dan doa yang dibaca pada waktu sujud shalat.

Apabila salam sebelum selesai shalat karena lupa, dan segera ingat, maka wajib menyempurnakan shalat lalu salam, kemudian sujud sahwi, dan jika lupa sujud sahwi kemudian salam, dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan shalat, baik bicara dan lainnya, maka harus sujud sahwi kemudian salam.

Apabila wajib atasnya dua sujud, sebelum salam dan sesudahnya, maka sujud sebelum salam.

Makmum sujud mengikuti imamnya, apabila makmum ketinggalan, dan imam sujud sesudah salam, jika lupanya imam terjadi ketika ia sudah ikut bersamanya, maka wajib sujud setelah salam, dan apabila lupanya imam terjadi sebelum ia ikut shalat, maka tidak wajib sujud sahwi.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ قَالَ مُحَمَّدٌ وَأَكْثَرُ ظَنِّي الْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى خَشَبَةٍ فِي مُقَدَّمِ الْمَسْجِدِ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهَا وَفِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ فَقَالُوا أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ وَرَجُلٌ يَدْعُوهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتْ فَقَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ قَالَ بَلَى قَدْ نَسِيتَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَكَبَّرَ ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَكَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shalat bersama kami dalam suatu shalat malam, Berkata Muhammad; Kecenderungan dugaanku adalah shalat ‘Ashar, yaitu sebanyak dua raka’at lalu memberi salam. Setelah itu Beliau mendatangi kayu yang tergeletak di masjid, Beliau berbaring dengan meletakkan kedua tangannya pada kayu tersebut. Diantara mereka yang ikut shalat ada Abu Bakar dan ‘Umar radliallahu ‘anhuma. Namun keduanya sungkan untuk berbicara dengan Beliau lalu keluar mendahului orang banyak. Sementara orang-orang berkata; “Shalat diringkas (qashar) “. Tiba-tiba ada seorang yang dipanggil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan panggilan Dzul Yadain, dan ia berkata: “Apakah anda lupa atau shalat diqashar?” Beliau berkata: “Aku tidak lupa dan shalat juga tidak diqashar”. Beliau berkata: “Aku tidak lupa dan juga shalat tidak diqashar!”. (Dzul Yadain) berkata: “Benar, sebenarnya anda telah lupa”. Maka Beliau shalat dua raka’at kemudian memberi salam. Kemudian Beliau bertakbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi kemudian mengangkat kepalanya lalu bertakbir lagi kemudian meletakkan kepalanya lalu bertakbir kemudian sujud seperti sujudnya atau lebih lama lagi, kemudian mengangkat kepalanya dan takbir. (HR Bukhari)


Penulis: Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri.
[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Ibadah العبادات ) Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]


Footnote:
  1. HR. Bukhari no (401), ini adalah lafadznya Muslim no (572).

Comments

Popular posts from this blog

Fidyah: Pengertian, Hukum, dan Ketetuannya Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa. Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kunci Rezeki dan Sebab Datangnya
Rezeki adalah anugerah dari Allah yang senantiasa dicari oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami bahwa rezeki tidak hanya datang melalui usaha fisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh amalan dan sikap hati yang benar. Dalam ajaran Islam, terdapat kunci-kunci yang dapat membuka pintu rezeki serta sebab-sebab yang mendatangkannya. Faktor-faktor ini meliputi hubungan yang erat dengan Allah melalui ibadah, istighfar, dan doa, serta tindakan menjauhi maksiat dan menjaga ketakwaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang kunci-kunci rezeki tersebut serta hikmah di balik sebab-sebab datangnya rezeki yang penuh berkah.
Jual Beli Yang Diharamkan
Dalam ajaran Islam, prinsip jual beli tidak hanya dilandasi oleh keuntungan materi, tetapi juga mempertimbangkan etika dan moralitas. Ada berbagai bentuk jual beli yang dinilai tidak sesuai dengan hukum syariah karena melibatkan kecurangan, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap aturan agama. Praktik-praktik seperti riba, penipuan, judi, serta penjualan barang haram seperti khamar dan babi, semuanya dilarang karena berdampak negatif pada individu maupun masyarakat. Larangan ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan penuh berkah, sehingga hubungan antara penjual dan pembeli dapat berjalan dengan harmonis sesuai nilai-nilai Islam.
Riba: Pengertian dan Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Pendahuluan Riba adalah konsep dalam Islam yang melarang pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan dari pinjaman atau transaksi keuangan. Dalam Islam, riba dianggap tidak adil dan merugikan pihak yang berhutang. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dikembangkan untuk menawarkan alternatif yang lebih adil dan etis.
Kitab Shalat: Tata Cara Makmum Mengikuti Imam
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya. Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
QA: Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Fidyah bagi wanita hamil dan menyusui dapat berupa pemberian makanan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adanya keringanan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan dalam ajaran Islam, yang memperhatikan kondisi individu dan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang memiliki keterbatasan.