Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain: mencintai, menolong, mengikuti, mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari al-mu’aadaah (الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah (الْعَدَوَاةُ) yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum muslimin) mengadakan perjanjian (dengan mereka).”
[QS. At-Taubah/9: 1]
Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut. Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang dibenci Allah. Dari penjelasan terdahulu, ‘aqidah al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah serta apa yang dibenci dan dimurkai Allah, dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
- Perkataan, maka dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Azza wa Jalla.
- Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan Sunnah-Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Azza wa Jalla.
- Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah sedang kufur dan syirik dibenci Allah Azza wa Jalla.
- Orang, orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Azza wa Jalla
Aqidah al-wala’ dan al-bara’ mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan muatan syari’at Islam.[2] Berikut penjelasannya:
Hukum al-wala’ dan al-bara’ dalam syari’at Islam[6] adalah wajib. Bahkan ia merupakan salah satu konsekuensi dari kalimat syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Mengenai hukum wajibnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka…”
[QS. Ali ‘Imran/3: 28]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mentaati orang-orang yang kafir, niscaya mereka akan mengembali-kan kamu ke belakang (murtad), maka kamu akan kembali menjadi orang yang rugi.”
[QS. Ali ‘Imran/3: 149]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
[QS. Al-Maa-idah/5: 51]
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau (Muhammad) tidak akan akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya…”
[QS. Al-Mujaadilah/58: 22]
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia itu sama dengannya.”[7]
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’.[8] Manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
- Orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
- Orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain; yaitu seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar. Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah Shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.”[9]
- Orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya. Sedang jika seorang Muslim melakukan perbuatan yang menyebabkannya jadi kafir, maka ia dinyatakan murtad. Misalnya, berdo’a kepada selain Allah, meminta pertolongan di saat sulit kepada selain Allah, serta bertawakkal kepada selain Allah, atau meninggalkan shalat wajib (mengingkari kewajibannya),[10] atau mengingkari wujud Allah atau menghina Allah atau Rasul-Nya atau agama-Nya dan semacam-Nya, maka perbuatan ini membuat seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam.
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-wala’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi[11], antara lain:
- Hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا فَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh Malaikat dalam keadaan menzhalimi diri sendiri, mereka (para Malaikat) bertanya, ‘Bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Makkah).’ Mereka (para Malaikat) bertanya, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (ber-pindah-pindah) di bumi itu?’ Maka orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahannam, dan (Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah me-maafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
[QS. An-Nisaa’/4: 97-99]
- Membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ
“(Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka.”
[QS. Al-Anfaal/8: 72]
- Hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasehati mereka, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) meng-harapkan perhiasan kehidupan dunia…”
[QS. Al-Kahfi/18: 28]
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (مِنَ الْخَيْرِ
“Salah seorang di antaramu tidaklah dikatakan beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (dalam perkara-perkara yang baik).”[12]
- Tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ghibah serta menyebarkan namimah (berita yang menyebabkan permusuhan) terhadap kaum Muslimin.[13]
- Melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, mendo’akan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang bathil dan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.
“Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari (golongan) kami.”[14]
لاَ يَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Tidak boleh seorang laki-laki menjual-beli (menawar) sesuatu yang lebih dulu dijual-beli (ditawar) oleh sau-daranya dan tidak boleh melamar di atas lamaran saudaranya.”[15]
- Tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan rahasia mereka kepada musuh-musuh mereka. Firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَا تَجَسَّسُوا
“… Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…”
[QS. Al-Hujuraat/49: 12]
- Bersatu padu ke dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan ‘aqidah dan manhaj yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal terbaik (para Shahabat). Tidak berpecah belah, selalu tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai….”
[QS. Ali Imran/3: 103]
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-bara’ (berlepas diri dari kekufuran) terdapat hak-hak[16] yang harus dipenuhi, antara lain:
- Membenci syirik dan kufur serta penganut-penganutnya dan senantiasa berlepas diri terhadap mereka. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَإِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (kamu menyembah) yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku”’
[QS. Az-Zukhruf/43: 26-27]
- Tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;…”
[QS. Al-Mumtahanah/60: 1]
- Meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana kecuali untuk keperluan darurat dan dengan kesanggupan memperlihatkan syi’ar-syi’ar agama dan tanpa ada pertentangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap muslim yang bermukim (berdomisili) di antara kaum musyrikin.”[17]
- Tidak menyerupai orang-orang kafir pada apa yang telah menjadi ciri khas mereka dalam masalah dunia (seperti gaya makan dan minum) dan juga ciri khasnya yang berkaitan dengan agama:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا اللِّحَى، وَأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ.
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggotmu[18] dan tipiskanlah kumismu.”[19]
- Tidak menolong, memuji, membantu orang-orang kafir dalam menghadapi kaum Muslimin.
- Tidak meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan tidak menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu yang dipercaya menjaga rahasia dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan penting.[20]
- Tidak terlibat dengan mereka dalam hari raya dan kegembiraan mereka, juga tidak memberikan ucapan selamat. Umat Islam tidak boleh mengikuti perayaan orang-orang kafir dan tidak boleh memberikan ucapan selamat kepada mereka.
- Tidak memohonkan ampunan bagi mereka meskipun mereka keluarga terdekat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu, adalah penghuni Neraka Jahannam.”
[QS. At-Taubah/9: 113]
- Tidak berbasa-basi dan bercanda dengan mereka melalui cara-cara yang merugikan agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula).”
[QS. Al-Qalam/68: 9]
- Tidak menyandarkan hukum kepada mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
[QS. Al-Maaidah/5: 44]
- Tidak memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَبْدَأُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian berjumpa dengan salah seorang di antara mereka, maka desaklah ia ke tepi yang paling sempit.”[21]
Apabila orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kaum Muslimin, maka jawablah dengan ucapan: وَعَلَيْكُمْ (wa‘alaikum). Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) mereka mengucapkan salam kepada kami, bagaimana kami menjawab salam mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah wa’alaikum.”[22]
Berikut ini Hukum Bermuamalah Dengan Orang Kafir[23]:
- Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan jual beli barang selama alat tukar dan barangnya dibenarkan menurut syari’at Islam.
- Wakaf mereka dibolehkan selama itu pada hal-hal dimana wakaf terhadap kaum Muslimin dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma terhadap ibnu sabil dan semacamnya.
- Boleh memberi pinjaman dan atau meminjam dari mereka walaupun dengan cara menggadaikan barang. Sebab diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia sedang baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum.[24]
- Haram mengizinkan mereka membangun rumah ibadah mereka di negeri Muslim.
- Orang Dzimmi (non muslim yang berada di negeri Muslim) dan Mu’ahad (non muslim yang mempunyai perjanjian damai dengan negeri Muslim) tidak boleh diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi perjanjian.
- Hukum qishas atas nyawa dan lainnya juga diberlakukan kepada mereka.
- Boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka, baik karena permintaan kita maupun karena permintaan mereka, selama itu mewujudkan kemashlahatan umum bagi kaum Muslimin dan pemimpin kaum Muslimin sendiri cenderung ke arah itu, hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
وَإِن جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah…”
[QS. Al-Anfaal/8: 61]
Tapi perjanjian damai itu harus bersifat sementara dan tidak mutlak.
- Darah, harta dan kehormatan kafir Dzimmi, Mu‘ahad dan musta’man (orang yang minta jaminan keamanan) adalah haram (tidak boleh ditumpahkan darahnya), apabila mereka bukan kafir Harbi (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).
- Perbedaan antara al-Bara’ dengan Keharusan Bermu’amalah yang Baik
Sikap permusuhan terhadap orang kafir tidak berarti bahwa kita boleh bersikap buruk terhadap mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Seorang muslim bahkan harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang masih musyrik. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”
[QS. Luqman/31: 15]
Kebencian itu juga tidak boleh mencegah kita untuk melakukan apa yang menjadi hak-hak mereka, menerima kesaksian-kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain serta berbuat baik terhadap mereka. Firman Allah Azza wa Jalla:
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
[QS. Al-Mumtahanah/60: 8]
Hukum ini berlaku untuk orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dan jaminan dari kaum muslimin dan tidak berlaku bagi orang kafir yang berstatus ahlul Harb (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin). Dengan demikian jelaslah bahwa mu’amalah yang baik dengan orang kafir adalah suatu akhlak mulia yang sangat dianjurkan dan diperintahkan oleh syari’at Islam.
Sedangkan yang diharamkan adalah mendukung dan menolong orang kafir dalam rangka kekufuran. Pengharaman ini dapat menyebabkan pelakunya sampai kepada kekufuran. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“…Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka….”
[QS. Al-Maaidah/5: 51]
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
Footnote
- Bahasan ini dinukil dari al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 191-203) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shalih (hal. 139-146).
- Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 192-193).
- HR. Ath-Thabrany dalam Mu’jamul Kabir (no.11537), lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (IV/306, no. 1728).
- HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa’i (VIII/95) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
- HR. Al-Bukhari (no. 660, 1423) dan Muslim (no. 1031) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
- Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 194-195).
- HR. Abu Dawud (no. 2787) dari Shahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2330).
- Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195).
- HR. Al-Bukhari (no. 6780) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/337 no. 2606) dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
- Hukum meninggalkan shalat wajib yang lima waktu dengan sengaja adalah DOSA BESAR. Para ulama berbeda pendapat, apakah orang yang tidak shalat dengan sengaja adalah kafir ataukah tidak? Jumhur ulama sepakat bahwa itu adalah dosa besar, tetapi mereka tidak mengkafirkannya. Kecuali orang yang mengingkari kewajibannya, maka ia adalah kafir.
- Lihat al-Madkhal lidiraasatil Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 198-200).
- HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45 (71)), Ibnu Majah (no. 66), at-Tirmidzi (no. 2515), Ahmad (III/176, 206, 251), an-Nasa-i (VIII/ 115), ad-Darimi (II/307), Abu ‘Awanah (I/33), dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Tambahan di dalam kurung diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah, Ahmad dan an-Nasa-i. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 73).
- Lihat QS. Al-Hujuurat: 11-12.
- HR. Muslim (no. 101), Ibnu Majah (no. 2224), Abu Dawud (no. 3452), dan Abu ‘Awanah (I/57) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
- HR. Al-Bukhari (no. 2140) dan Muslim (no. 1413 (51)) dari Sha-habat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
- Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 201-203).
- HR. Abu Dawud (no. 2645), at-Tirmidzi (no. 1604) dari Shahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1207).
- Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna اِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ (peliharalah jenggotmu) artinya: “Tidak boleh digunting sedikit pun.” Lihat Riyaadhus Shaalihiin hadits no. 1204.
- HR. Al-Bukhari (no. 5892) dan Muslim (no. 259 (54)) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu.
- Lihat QS. Ali ‘Imran/3: 118.
- HR. Muslim no. 2167 (13) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
- HR. Muslim no. 2163 (7) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
- Lihat al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 209).
- HR. Al-Bukhari (no. 2916) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Comments
Post a Comment