Kemudian Jibril mendatanginya saat ‘Isya’ dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Isya’ ketika merah senja telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Shubuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Shubuh ketika muncul fajar, atau Jabir berkata, “Ketika terbit fajar.” Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Zhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Zhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
Kemudian dia mendatanginya saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Isya’ ketika pertengahan malam telah berlalu -atau Jibril mengatakan, sepertiga malam,- lalu beliau shalat ‘Isya’. Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Shubuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu tersebut adalah waktu shalat.’”[1]
At-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad (yaitu Ibnu Isma’il al-Bukhari) berkata, “Riwayat paling shahih tentang waktu shalat adalah hadits Jabir.”
- Zhuhur, Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
- 'Ashar, Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.
- Maghrib, Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-merahan pada senja. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Waktu shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.”[2]
- 'Isya', Waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a’alaihi wa sallam: “Waktu shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam.”[3]
- Shubuh, Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ.
“Waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga sebelum matahari terbit.“[4]
Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha (Pertengahan)? Allah Ta’ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”
[QS. Al-Baqarah/2: 238].
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di hari terjadinya perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَغَّلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ، ملأَ اللهُ بُيُوْتَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا.
“Mereka telah menyibukkan kita dari shalat al-Wustha (yaitu) shalat ‘ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah dan kubur-kubur mereka dengan api.“[5]
- Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal Waktu Ketika Hari Tidak Terlalu Panas. Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ.
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke barat).”[6]
- Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak Keluar dari Waktunya-Ed.)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْـحِ جَهَنَّمَ.
“Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat hingga cuaca menjadi agak dingin. Sesungguhnya panas yang sangat itu merupakan bagian dari didihan Jahannam.“[7]
- Disunnahkan Menyegerakan Shalat 'Ashar. Dari Anas Radhiyallahu anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِيْ فَيَأْتِي الْعَوَالِيْ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan terang. Lalu seseorang pergi dan mendatangi al-‘Awali (tempat di sudut Madinah) sedangkan matahari masih tinggi.”[8]
- Dosa Orang yang Melewatkan Shalat ‘Ashar. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang melewatkan shalat ‘Ashar seperti orang yang berkurang keluarga dan hartanya.[9]” Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ.
“Barangsiapa meninggalkan shalat ‘Ashar, maka terhapuslah amalannya.”[10]
- Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam). Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً.
Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil mengawasi matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk syaitan (waktu terbit dan tenggelamnya matahari) ia bangkit dan shalat empat raka’at dengan cepat. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.“[11]
- Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan Dimakruhkan Mengakhirkannya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, Nabi Shalallahu a’alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَـالَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ.
“Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam keadaan fithrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga banyak bintang bermunculan.“[12]
Dari Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu : “Dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Maghrib jika matahari telah terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak nampak).”[13]
- Disunnahkan Mengakhirkan Shalat ‘Isya’ Selama Tidak Memberatkan. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Isya’, hingga berlalulah sebagian besar malam dan para penghuni masjid telah tertidur. Kemudian beliau keluar dan shalat, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah waktunya, hanya saja aku tak ingin memberatkan umatku.[14]
- Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan yang Tidak Berguna Sesudahnya. Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum ‘isya’ dan berbincang-bincang sesudahnya.”[15] Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu malam kami menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pertengahan malam. Lalu beliau datang dan shalat dengan kami, kemudian menasihati kami. Beliau berkata:
أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ لَمْ تَزَالُوا فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ.
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat kemudian tidur. Dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu shalat.’“[16]
- Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal Waktunya (Ketika Masih Gelap). Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu para wanita mukminat menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbungkus pakaian mereka. Kemudian kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun yang mengenali mereka karena gelapnya malam.”[17]
- Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan Waktu Shalat? Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرِبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.
“Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapati satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapati shalat ‘Ashar.”[18]
Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan ‘Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
“Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat itu”[19]
- Mengqadha Shalat yang Terlewatkan. Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau tertidur darinya, maka kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat itu jika ia telah mengingatnya.”[20]
- Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk Mengqadha Shalat Tersebut? Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa (II/235), “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan waktu tertentu, yaitu awal dan akhirnya, bagi setiap shalat wajib. Masuk pada waktu tertentu dan keluar pada waktu tertentu. Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena keduanya shalat pada selain waktunya. Qadha adalah kewajiban dari agama. Sedangkan agama tidak boleh selain dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang qadha wajib bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan melalaikan dan melupakannya. Tidak pula sengaja menyulitkan kita dengan tidak memberi penjelasan mengenainya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64). Dan setiap syari’at yang bukan dari al-Qur-an dan Sunnah adalah bathil.”
Waktu-Waktu Dilarangnya Shalat. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبَرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَـا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْـنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّـى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّفَ الشَّمْسُ لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ.
“Tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami shalat atau mengubur orang-orang mati kami pada saat itu: ketika matahari terbit hingga naik, ketika pertengahan siang hingga matahari tergelincir, ketika matahari condong ke barat hingga tenggelam.”[21]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan alasan dilarangnya shalat dalam waktu-waktu ini melalui perkataan beliau kepada ‘Amr bin ‘Abasah: “Kerjakanlah shalat Shubuh. Kemudian hentikanlah shalat hingga matahari terbit dan naik. Karena sesungguhnya ketika terbit, matahari berada di antara dua tanduk syaitan. Pada waktu itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah itu shalatlah, karena sesungguhnya shalat tersebut disaksikan dan dihadiri. Hingga bayangan naik setinggi tombak. Kemudian hentikanlah shalat. Karena waktu itu Jahannam bergolak. Jika bayangan telah condong ke barat, maka shalatlah, karena sesungguhnya shalat itu dihadiri dan disaksikan. Hingga engkau shalat ‘Ashar. Kemudian hentikanlah shalat hingga matahari terbenam. Karena sesungguhnya ia terbenam di antara dua tanduk syaitan. Dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.”[22]
- Dikecualikan dari Larangan Ini Waktu dan Tempat Tertentu. Adapun waktu, adalah ketika matahari berada tepat di atas pada hari Jum’at: Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَتَطَهَّرَ مَـا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنٍ أَوْ يَمُسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتْ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lantas bersuci sebaik-baiknya, mengenakan minyak rambut, atau mengenakan minyak wangi rumahnya. Kemudian keluar dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Setelah itu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at yang satu dengan Jum’at yang lain.“[23]
Beliau menganjurkan shalat sunnah semampunya dan tidak melarang kecuali setelah keluarnya imam. Oleh sebab itu, banyak ulama terdahulu, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yang kemudian diikuti oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa keluarnya imam menghentikan shalat, dan khutbahnya menghentikan perkataan. Mereka menjadikan keluarnya imam sebagai penghalang shalat, bukan pertengahan siang. Adapun pengecualian tempat adalah, Makkah -semoga Allah menambah kemuliaan dan keagungannya-. Karena Allah Ta’ala telah melebihkannya dengan kemuliaan dan keagungan. Shalat di sana tidak ada yang dimakruhkan pada waktu-waktu tadi.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Bani ‘Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi siapa pun yang melakukan thawaf dan shalat di Baitullah ini kapan saja. Baik malam maupun siang hari.”[24] Shalat yang dilarang pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah murni yang tidak ada sebabnya. Pada waktu-waktu ini diperbolehkan untuk mengqadha shalat-shalat yang terlewatkan, baik wajib maupun sunnah. Dalilnya adalah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا إِلاَّ ذلِكَ.
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu.”[25]
Shalat setelah selesai wudhu’ juga boleh untuk dilakukan kapan saja. Dalilnya adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Bilal ketika Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu berada di depanku dalam Surga.” Bilal menjawab, “Tidaklah aku melakukan suatu amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja, tidaklah aku bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya.”[26]
Diperbolehkan juga shalat Tahiyyatul Masjid. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka’at.“[27]
- Dilarang Shalat Sunnah setelah Fajar Terbit dan Sebelum Shalat Shubuh. Dari Yasar bekas budak Ibnu ‘Umar, dia berkata, “Ibnu ‘Umar melihatku sedang shalat setelah fajar terbit. Lalu dia berkata, ‘Wahai Yasar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami ketika kami sedang melakukan shalat ini. Kemudian beliau bersabda, ‘Hendaklah orang yang hadir di antara kalian memberitahu yang tidak hadir. Janganlah kalian shalat setelah fajar kecuali dua raka’at.'”[28]
- Dilarang Shalat Sunnah setelah Iqamat. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ.
“Jika iqamat shalat sudah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.“[29]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلَى اْلأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيْتُ جَوَامِعُ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ.
“Aku dilebihkan atas para Nabi dengan enam perkara: (1) aku diberi ucapan yang singkat dan penuh makna, (2) aku ditolong dengan rasa takut (musuh atasku), (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang, (4) bumi dijadikan sarana bersuci dan masjid untukku, (5) aku diutus untuk seluruh makhluk, dan (6) para Nabi ditutup denganku.”[30]
Semua bumi adalah masjid selain yang dikecualikan dalam beberapa hadits di bawah ini: Dari Jundub bin ‘Abdillah al-Bajali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Lima hari sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal aku mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَـانَ قَبْلَكُمْ كَـانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُرْرَ مَسَـاجِدَ، إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ.
'Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu.'[31]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ.
“Semua bumi adalah masjid kecuali kubur dan kamar mandi.“[32]
Dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di penderuman unta. Beliau menjawab:
لاَ تُصَلُّوْا فِي مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِيْنِ.
“Janganlah kalian shalat di penderuman unta. Karena ia termasuk syaitan.”
Dan beliau ditanya tentang shalat di penambatan kambing. Beliau menjawab:
صَلُّوْا فِيْهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ.
“Shalatlah di situ, karena ia adalah barakah.“[33]
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
Footnote:
- Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (250)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/241 no. 90), Sunan an-Nasa-i (I/263), dan Sunan at-Tirmidzi (1/101 no. 150), dengan lafazh serupa.
- Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (I/268)], Shahiih Muslim (I/427 no. 612 (173)), ini adalah lafazh darinya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/67 no. 392), Sunan an-Nasa-i (I/260).
- Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (I/268)], Shahiih Muslim (I/427 no. 612 (173)), ini adalah lafazh darinya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/67 no. 392), Sunan an-Nasa-i (I/260).
- Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (I/268)], Shahiih Muslim (I/427 no. 612 (173)), ini adalah lafazh darinya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/67 no. 392), Sunan an-Nasa-i (I/260).
- Shahiih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 217)], Shahiih Muslim (I/437 no. 627 (205)).
- Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 254)], Shahiih Muslim (I/432 no. 618).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/430 no. 615)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/15 no. 533), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/75 no. 398), Sunan at-Tirmidzi (I/105 no. 157), Sunan an-Nasa-i (I/248), dan Sunan Ibni Majah (I/222 no. 677).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/28 no. 550)], Shahiih Muslim (I/433 no. 621), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/77 no. 400), Sunan an-Nasa-i (I/252), dan Sunan Ibni Majah (I/223 no. 682).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/435 no. 626)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/30 no. 552), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/84 no. 410), Sunan at-Tirmidzi (I/113 no. 175), dan Sunan an-Nasa-i (I/238).
- Shahiih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 497)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/31 no. 553), dan Sunan an-Nasa-i (I/236).
- Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 399)], Shahiih Muslim (XXI/434 no. 622), ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/83 no. 409), Sunan at-Tirmidzi (I/107 no. 160), dan Sunan an-Nasa-i (I/254).
- Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 403)], dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/87 no. 414).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/441 no. 636)], Sunan at-Tirmidzi (I/108 no. 164), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/41 no. 561), tanpa lafazh: “matahari tenggelam”, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/87 no. 413), dengan lafazh serupa, dan Sunan Ibni Majah (I/225 no. 688), dengan lafazh serupa.
- Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 223)] dan Shahiih Muslim (I/442 no. 638 (219)).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/49 no. 568)], Shahiih Muslim (I/447 no. 647 (237)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/69 no. 394), Sunan an-Nasa-i (I/246).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/73 600)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/443 no. 640), dan Sunan an-Nasa-i (I/268).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (1/54 no. 578)], Shahiih Muslim (I/445 no. 645), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/91/419), Sunan an-Nasa-i (I/271), Sunan at-Tirmidzi (1/103 no. 153), Sunan Ibni Majah (I/220 no. 669).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/56 no. 579)], Shahiih Muslim (I/424 no. 608), Sunan an-Nasa-i (I/273), dengan lafazh serupa.
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/57 no. 580)], Shahiih Muslim (I/423 no. 607), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/471 no. 1108), Sunan at-Tirmidzi (II/19 no. 523), dan Sunan an-Nasa-i (I/274).
- Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 229)], Shahiih Muslim (I/477 no. 684 (no. 315)).
- Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1233)], Shahiih Muslim (I/568 no. 831), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/481 no. 3176), Sunan at-Tirmidzi (II/247 no. 1035), Sunan an-Nasa-i (I/275), dan Sunan Ibni Majah (I/486 no. 1519).
- Shahih: [Al-Misykaah (no. 1042)], dan Shahiih Muslim (I/570 no. 832).
- Shahih: [At-Targhiib (no. 689)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/370 no. 883).
- Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1036)], Sunan Ibni Majah (I/398 no. 1254), Sunan at-Tirmidzi (II/178 no. 869), dan Sunan an-Nasa-i (V/223).
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/70 no. 597)], Shahiih Muslim (I/477 no. 684), dan dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/113 no. 438). Pada riwayat lain tidak disebutkan kalimat “Tidak ada kaffarat baginya kecuali itu,” sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan an-Nasa-i (I/293), Sunan at-Tirmidzi (I/114 no. 187), dan Sunan Ibni Majah (I/227 no. 696).
- Telah berlalu takhrijnya.
- Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/48 no. 1163)], Shahiih Muslim (I/495 no. 714), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/133 no. 463), Sunan at-Tirmidzi (I/198 no. 315), Sunan Ibni Majah (I/324 no. 1013), dan Sunan an-Nasa-i (II/53).
- Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 5353)], dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/158 no. 1264). At-Tirmidzi meriwayatkan secara singkat dengan lafazh: “Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua raka’at.” (I/262 no. 417).
- Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 945)], Shahiih Muslim (I/493 no. 710), Sunan at-Tirmidzi (I/264 no. 419), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/ 142 no. 1252), Sunan an-Nasa-i (II/116), dan Sunan Ibni Majah (1/364 no. 1151).
- Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 257)], dan Shahiih Muslim (I/371/523).
- Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 286)], dan Shahiih Muslim (I/377 no. 532).
- Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 606)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/158 no. 488), Sunan Ibni Majah (I/246 no. 745), dan Sunan at-Tirmidzi (I/199 no. 316).
- Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7351)], dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/159 no. 489).
Comments
Post a Comment