Gadai (ar-Rahn): Definisi, Hukum, Syarat, dan Jenisnya Dalam Islam

Gadai (Ar-Rahn): Definisi, Hukum, Syarat, dan Jenisnya Dalam Islam

Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam masalah ibadah maupun mu’amalah (hubungan antar makhluk). Begitu pula saat seseorang membutuhkan untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong, maka Islam telah memberikan kaidah-kaidahnya. Salah-satunya, yaitu dalam hutang-piutang. Islam memberikan perlindungan secara adil atas diri yang berhutang dan yang memberi pinjaman. Yaitu adanya pemberlakukan barang gadai sebagai jaminan. Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan, baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya transaksi gadai di tengah masyarakat.

Perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. Yang kadang tak bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini, yakni adanya perbuatan zhalim dan saling memakan harta dengan cara batil. Bagaimanakah syari’at Islam memandang transaksi gadai ini? Berikut adalah pembahasan mengenai hal tersebut, atau yang disebut ar-rahn? Semoga menambah pengertian kita, sehingga dapat menghindarkan diri dari praktek-praktek yang merugikan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain.







Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Maraji’:
  • Al Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalah, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad al Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, Cetakan Pertama, Tahun 1425H, Madar al Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.
  • Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama bil-Mamlakah al ‘Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al Amanah al ‘Amah li Hai’ati Kibaril-Ulama, Cetakan Pertama, Tahun 1422H.
  • Kitab Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram, Syaikh ‘Abdullah al Bassam, Cetakan Kelima, Tahun 1423, Maktabah al Asadi, Makkah, KSA.
  • Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq Dr. ‘Abdullah bin Abdul-Muhsin at-Turki dan ‘Abdul-Fatah Muhammad al Hulwu, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir.
  • Al Majmu’ Syarhul-Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najib al Muthi’i, Cetakan Tahun 1419H, Dar Ihya-ut-Turats al ‘Arabi, Beirut.

Footnote
  1. Lihat Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram, Syaikh ‘Abdullah al Bassam, Cetakan Kelima, Tahun 1423, Maktabah al Asadi, Makkah, KSA (4/460).
  2. Lisanul-‘Arab, Ibnu Mandzur pada kata rahana. Dinukil dari al Fiqhul-Muyassarah, Qismul- Mu’amalah, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad al Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, Cetakan Pertama, Tahun 1425H, Madarul- Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.
  3. Mu’jam Maqayis al Lughah (2/452). Dinukil dari Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama bil Mamlakah al Arabiyah as-Su’udiyah, oleh al Amanah al ‘Amah li Hai’ati Kibaril-‘Ulama, Cetakan Pertama, Tahun 1422H (6/102).
  4. Lihat al Majmu’ Syarhul-Muhadzab, Imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najib al Muthi’i, Cetakan Tahun 1419H, Dar Ihya-ut-Turats al ‘Arabi, Beirut (12/299-300).
  5. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq Dr. ‘Abdullah bin Abdul-Muhsin at-Turki dan ‘Abdul-Fatah Muhammad al Hulwu, Cetakan Kedua, Ttahun 1412H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir (6/443).
  6. Al Wajiz fi Fiqhis-Sunnah wal-Kitabil-‘Aziz
  7. Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram (4/460).
  8. Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama bil-Mamlakah al Arabiyah as-Su’udiyah (6/107).
  9. Al Mughni (6/444) dan Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram (4/460).
  10. Fathul-Bari (5/140).
  11. Adhwa’ul-Bayan (1/228).
  12. Al Mughni 6/444.
  13. Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama bil-Mamlakah al Arabiyah as-Su’udiyah (6/112-112).
  14. Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama bil-Mamlakah al Arabiyah as-Su’udiyah (6/112).
  15. Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua pelaku transaksi dapat mengungkapkan keridhaannya, baik berupa perkataan, yaitu ijab qabul atau berupa perbuatan.
  16. Al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 116.
  17. Lihat al Majmu’ Syarhul-Muhadzab (12/302), al Fiqhul-Muyassar, hlm 116, dan Taudhihul-Ahkam (4/460).
  18. Al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 116.
  19. Lihat Taudhihul-Ahkam (4/460) dan al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 116.
  20. Taudhihul-Ahkam (4/460).
  21. Al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 116.
  22. Al Mughni (6/446).
  23. Taudhihul-Ahkam (4/464).
  24. Al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 117.
  25. Lihat pembahsannya dalam Taudhihul-Ahkam (4/462-477).
  26. Al Fiqhul-Muyassarah, hlm. 117.
  27. Dinukil dari Taudhihul-Ahkam (4/462).
  28. Abhats Hai’ati Kibaril-‘Ulama (6/134-135).
  29. Taudhihul-Ahkam (4/467).
  30. Al Fiqhul-Muyassar, hlm. 119.

Comments

Popular posts from this blog

Fidyah: Pengertian, Hukum, dan Ketetuannya Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa. Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kunci Rezeki dan Sebab Datangnya
Rezeki adalah anugerah dari Allah yang senantiasa dicari oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami bahwa rezeki tidak hanya datang melalui usaha fisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh amalan dan sikap hati yang benar. Dalam ajaran Islam, terdapat kunci-kunci yang dapat membuka pintu rezeki serta sebab-sebab yang mendatangkannya. Faktor-faktor ini meliputi hubungan yang erat dengan Allah melalui ibadah, istighfar, dan doa, serta tindakan menjauhi maksiat dan menjaga ketakwaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang kunci-kunci rezeki tersebut serta hikmah di balik sebab-sebab datangnya rezeki yang penuh berkah.
Jual Beli Yang Diharamkan
Dalam ajaran Islam, prinsip jual beli tidak hanya dilandasi oleh keuntungan materi, tetapi juga mempertimbangkan etika dan moralitas. Ada berbagai bentuk jual beli yang dinilai tidak sesuai dengan hukum syariah karena melibatkan kecurangan, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap aturan agama. Praktik-praktik seperti riba, penipuan, judi, serta penjualan barang haram seperti khamar dan babi, semuanya dilarang karena berdampak negatif pada individu maupun masyarakat. Larangan ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan penuh berkah, sehingga hubungan antara penjual dan pembeli dapat berjalan dengan harmonis sesuai nilai-nilai Islam.
Riba: Pengertian dan Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Pendahuluan Riba adalah konsep dalam Islam yang melarang pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan dari pinjaman atau transaksi keuangan. Dalam Islam, riba dianggap tidak adil dan merugikan pihak yang berhutang. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dikembangkan untuk menawarkan alternatif yang lebih adil dan etis.
Kitab Shalat: Tata Cara Makmum Mengikuti Imam
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya. Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
QA: Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Fidyah bagi wanita hamil dan menyusui dapat berupa pemberian makanan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adanya keringanan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan dalam ajaran Islam, yang memperhatikan kondisi individu dan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang memiliki keterbatasan.