QA: Hukum Air Liur dan Menggauli Wanita Istihadhah

Hukum Air Liur dan Menggauli Wanita Istihadhah

Dalam ajaran Islam, penting untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan kebersihan dan hubungan antara suami dan istri. Salah satu topik yang relevan adalah hukum air liur dan menggauli wanita yang mengalami istihadhah. Istihadhah adalah kondisi di mana seorang wanita mengalami pendarahan di luar periode haid dan nifas, yang memerlukan perhatian khusus dalam pelaksanaan ibadah dan hubungan suami-istri. Islam mengatur dengan jelas bagaimana seorang suami sebaiknya bersikap terhadap istrinya yang mengalami istihadhah. Menggauli istri yang sedang dalam keadaan istihadhah diperbolehkan, asalkan kebersihan dan kesucian tetap dijaga. Selain itu, air liur manusia dianggap bersih dan tidak najis, sehingga tidak ada larangan khusus dalam hal ini.

Menggauli Wanita Istihadhah[1]

Pertanyaan:
Bolehkah seorang suami menggauli istrinya yang sedang mendapat darah istihâdhah?

Jawaban:
Istihadhah adalah kondisi di mana seorang wanita mengalami pendarahan di luar periode haid dan nifas. Pendarahan ini bukan disebabkan oleh siklus menstruasi normal, melainkan oleh faktor lain seperti gangguan hormon atau masalah medis. Dalam istilah medis, istihadhah sering disebut sebagai pendarahan abnormal uterus. Istihadhah memiliki beberapa implikasi dalam praktik ibadah seorang Muslimah. Menurut ajaran Islam, wanita yang mengalami istihadhah tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan puasa seperti biasa, dengan beberapa aturan tambahan untuk menjaga kebersihan dan kesucian. Misalnya, mereka disarankan untuk mengganti pembalut secara teratur dan melakukan wudhu sebelum setiap shalat.

Jawaban pertanyaan ini telah dijawab para Ulama, diantaranya:

  1. Syaikh Husein al-‘Awaisyah dalam al-MausĂ»’atul Fiqhiyah 1/289-290 menyatakan, “Diperbolehkan berhubungan suami istri dengan istri yang sedang mengalami istihâdhah menurut pendapat mayoritas Ulama. Karena wanita itu sama seperti wanita suci (tidak dalam keadaan haidh dan nifas) dalam hal (kewajiban) melaksanakan shalat, puasa dan lainnya. Demikian juga hubungan suami-istri. Karena untuk mengharamkannya butuh dalil dan tidak ada dalil yang  mengharamkan suami menggauli istri yang kena istihâdhah.
  2. Ibnu abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Wanita yang mengalami pendarahan istihâdhah boleh digauli oleh suaminya apabila telah shalat. Shalat lebih agung.”
  3. Ikrimah rahimahullah  menyatakan bahwa Ummu Habibah pernah istihâdhah dan suaminya menggaulinya. [HR Abu Daud dan dishahihkan dalam shahih sunan Abi Daud no. 302]
  4. Dari Hamnah bintu Jahsy Radhiyallahu anha bahwa beliau dulu pernah istihâdah dan suaminya menggaulinya. [HR Abu Daud. Lihat Shahih Abu Daud, 303 dan Tamâmul Minnah, hlm 137]
  5. Sedangkan syaikh Abdul’Aziz bin Abdillah bin Bâz rahimahullah  ketika menjawab pertanyaan serupa dengan pertanyaan di atas, beliau rahimahullah menyatakan, “al-Mustahâdhah, wanita yang mengalami istihâdhah adalah wanita yang mengalami pendarahan namun bukan haidh dan nifas. Hukumnya sama seperti wanita-wanita suci biasa, ia (wajib) shalat, puasa dan dibolehkan berhubungan suami istri. [MajmĂ»’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawi’ah, Syaikh bin Bâz 10/213]

Air Liur Yang Keluar Dari Seseorang[2]

Pertanyaan:
Apa hukum air liur yang keluar dari seseorang saat ia tidur? Apakah cairan ini keluar (bersumber) dari mulut atau dari lambung? Kalau kita hukumi sebagai najis, lalu bagaimana cara untuk menghindarinya?

Jawaban:
Air liur yang keluar dari seseorang saat ia tidur itu suci, bukan najis, karena hukum asal dari semua yang keluar dari badan bani manusia itu suci, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ŘĄِنَّ الْŮ…ُؤْŮ…ِنَ Ů„َا ŮŠَنْجُŘłُ

Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis.[3]

Jadi, air liur, keringat dan tetesan air mata, serta yang keluar dari hidungnya; semuanya suci. Karena ini hukum asalnya. Sedangkan air kencing dan kotorannya serta segala yang keluar dari dua jalur adalah najis. Air liur yang keluar dari seseorang kala ia tidur termasuk yang suci, seperti halnya riak, dahak dan semacamnya. Oleh karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya, dan tidak pula mencuci pakaian dan apa yang terkena air liur. [Al-Muntaqâ Min Fatâwâ Fadhilat Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hal 541]

Dengan memahami hukum-hukum ini, pasangan suami istri dapat menjalani kehidupan berumah tangga dengan penuh keharmonisan dan sesuai dengan tuntunan syariat.



Footnote
  1. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2012M.
  2. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2016M.
  3. HR. Al-Bukhâri Kitâbul Ghusl, no.  281; Muslim Kitab Haid, no.  371; At-Turmudzi Kitab Thahârah, no. 121; Nasa’i Kitab Thahârah, no.  269; Abu Daud Kitab Thahârah, no. 231; Ibnu Majah kitab Thahârah wa Sunanuhâ, no.  534; Ahmad 2/235.

Comments

Popular posts from this blog

Fidyah: Pengertian, Hukum, dan Ketetuannya Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa. Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kunci Rezeki dan Sebab Datangnya
Rezeki adalah anugerah dari Allah yang senantiasa dicari oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak semua orang memahami bahwa rezeki tidak hanya datang melalui usaha fisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh amalan dan sikap hati yang benar. Dalam ajaran Islam, terdapat kunci-kunci yang dapat membuka pintu rezeki serta sebab-sebab yang mendatangkannya. Faktor-faktor ini meliputi hubungan yang erat dengan Allah melalui ibadah, istighfar, dan doa, serta tindakan menjauhi maksiat dan menjaga ketakwaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang kunci-kunci rezeki tersebut serta hikmah di balik sebab-sebab datangnya rezeki yang penuh berkah.
Jual Beli Yang Diharamkan
Dalam ajaran Islam, prinsip jual beli tidak hanya dilandasi oleh keuntungan materi, tetapi juga mempertimbangkan etika dan moralitas. Ada berbagai bentuk jual beli yang dinilai tidak sesuai dengan hukum syariah karena melibatkan kecurangan, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap aturan agama. Praktik-praktik seperti riba, penipuan, judi, serta penjualan barang haram seperti khamar dan babi, semuanya dilarang karena berdampak negatif pada individu maupun masyarakat. Larangan ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan penuh berkah, sehingga hubungan antara penjual dan pembeli dapat berjalan dengan harmonis sesuai nilai-nilai Islam.
Riba: Pengertian dan Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Pendahuluan Riba adalah konsep dalam Islam yang melarang pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan dari pinjaman atau transaksi keuangan. Dalam Islam, riba dianggap tidak adil dan merugikan pihak yang berhutang. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dikembangkan untuk menawarkan alternatif yang lebih adil dan etis.
Kitab Shalat: Tata Cara Makmum Mengikuti Imam
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya. Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
QA: Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Fidyah bagi wanita hamil dan menyusui dapat berupa pemberian makanan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adanya keringanan ini menunjukkan kasih sayang dan keadilan dalam ajaran Islam, yang memperhatikan kondisi individu dan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang memiliki keterbatasan.