Mengusap Kaos Kaki (Jaurab).[2] Al jaurab adalah, sesuatu yang dikenakan seseorang pada dua kakinya, baik yang terbuat dari bahan wol, kapas, bahan sintetik, dan lain sebagainya. Sering pula disebut dengan nama asy syarab. Ada tiga pendapat ulama berkaitan dengan hukum mengusap dua kaos kaki.
- Tidak boleh mengusap keduanya, kecuali bila tertutupi oleh sepatu kulit. Demikian ini madzhab Abu Hanifah -namun kemudian, beliau menarik kembali pendapat ini- juga Malik, asy Syafi’i.[3] Mereka menyatakan, karena kaos kaki tidak bisa disebut khuf, sehingga tidak sama hukumnya, dan tidak ada hadits tentang mengusap dua kaos kaki.
- Diperbolehkan mengusap keduanya dengan syarat harus tebal, menutupi bagian yang wajib terkena air dalam berwudhu. Demikian pendapat madzhab al Hasan, Ibnul Musayyib, Ahmad dan para fuqaha madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.[4]
- Boleh hukumnya mengusap dua kaos kaki secara mutlak, meskipun tipis. Inilah zhahir madzhab Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syaikh al ‘Utsaimin dan ‘allamah asy Syinqithi. Dan inilah pendapat yang rajih.
Para pendukung pendapat kedua dan terakhir, memberikan argumentasi tentang bolehnya mengusap dua kaos kaki dengan dalil-dalil berikut. Hadits al Mughirah bin Syu’bah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ
Sesungguhnya Rasulullah berwudhu` dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya.[5]
Dari al Azraq bin Qais, ia berkata: “Aku pernah melihat Anas bin Malik berhadats. Maka ia membasuh mukanya, dua tangan dan mengusap dua kaos kakinya yang terbuat dari wol”.
Aku bertanya,”Engkau mengusapnya?” Dia menjawab,”Keduanya adalah khuf, hanya saja terbuat dari wol”.[6] Anas menegaskan, kata khuf lebih umum tidak hanya sekedar terbuat dari kulit saja. Dan ia adalah seorang sahabat yang pakar dalam bahasa.
Ada sebelas orang sahabat yang menyatakan bolehnya mengusap dua kaos kaki. Di antaranya : ‘Umar dan putranya, yaitu ‘Abdullah, kemudian ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Anas dan lain-lain. Dan pada masa itu, tidak ada yang menentang mereka, sehingga menjadi Ijma’. Kemudian jumhur ulama melarang mengusap dua kaos kaki yang tipis karena tidak menutupi bagian yang harus terkena air wudhu`. Disebutkan, bahwa ini –menurut penelitian- bukan syarat yang harus terpenuhi, sebagai hasil Qiyas pada khuf yang berlubang. Selain itu, kaos kaki tipis yang dipakai sekarang sifatnya nisbi (relatif). Maka pengajuan syarat-syarat ini bertentangan dengan tujuan syari’at yang berorientasi memberikan kelonggaran agar tidak ada kesempitan ataupun kesulitan.
Faidah; termasuk dalam makna kaos kaki, yaitu segala hal yang membalut dua kaki karena ada halangan, dan hal itu sulit untuk dilepaskan, sehingga boleh mengusapnya, sebagaimana dirajihkan oleh Syaikhul Islam. Dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengusapan pada kaos kaki sama dengan hukum pada pengusapan dua khuf.
Apabila ada seseorang mengenakan kaos kaki rangkap dua, maka dalam masalah ini terdapat beberapa keadaan:
- Jika ia telah berwudhu` kemudian memakai kaos kaki, saat berhadats, ia boleh mengusap kaos kaki yang paling atas. Ini merupakan madzhab ulama Hanafiyah. Dan pendapat yang rajih di kalangan ulama Malikiyah dan Hanabilah serta qaul qadim asy Syafi’i, tetapi qaul jadidnya (pendapat terbarunya) menyelisihi ulama-ulama tadi.[7]
- Jika ia berwudhu` dan memakai kaos kaki kemudian mengusapnya, setelah itu melepaskan kaos kaki yang paling atas usai mengusapnya, maka ia boleh menyelesaikan batas waktunya dengan mengusap kaos kaki yang tersisa. Karena ia tetap disebut memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci.
- Jika ia berwudhu` dan memakai kaos kaki dan belum berhadats ketika memakai kaos kaki yang lain, maka ia boleh mengusap mana saja yang ia inginkan.[8]
- Jika ia berwudhu` dan mengenakan satu kaos kaki dan mengusapnya, kemudian ia mengenakan kaos kaki lain –apabila ia masih dalam keadaan suci– maka ia boleh mengusap kaos kaki yang berada di atas. Sebab ia masih bisa dikatakan memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci. Jika ia berhadats kemudian baru memakai kaos kaki lagi, maka ia tidak boleh mengusap bagian yang atas (kaos kaki kedua), tetapi boleh mengusap bagian bawahnya (kaos kaki pertama).
Pada hadits terdahulu disebutkan, al Mughirah bin Syu’bah mengatakan, bahwa Rasulullah berwudhu` dan mengusap kaos kaki dan sandalnya.[9] Hadits ini, dengan merujuk ulama yang menshahihkannya, mengandung dua hal.
- Beliau memakai sandal dengan mengenakan kaos kaki dan mengusapnya, sehingga hukumnya menjadi satu seperti pada pemakaian dua pasang kaos kaki atau memakai dua pasang khuf.
- Al Mughirah melihat Nabi sedang mengusap satu usapan pada kaos kaki dan usapan lainnya pada sandal. Sehingga hadits ini menjadi dalil bolehnya mengusap sandal, meskipun kaki tidak terbalut kaos kaki. Kesimpulan ini, walau agak jauh, hanya saja bisa didukung oleh dalil yang telah lalu, yaitu dalam hadits Abu Zhubyan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berwudhu` dan mengusap sandalnya, dan kemudian ia memasuki masjid dengan melepaskan dua sandalnya. Setelah itu ia mengerjakan shalat[10] … tidak ada penyebutan kata jaurob (kaos kaki) dalam hadits ini.
Menurut penelitian, mungkin saja bolehnya mengusap sandal -juga dengan tidak adanya syarat- bagian (sandal) yang diusap menutupi tempat yang harus terkena air wudhu`. Wallahu a’lam.
Pengertian al jabirah adalah, bahan gips yang digunakan untuk merekatkan tulang-tulang yang patah biar menyatu kembali. Akhir-akhir ini sering disebut dengan istilah habs. Siapa saja yang salah satu anggota wudhunya –semisal lengan bawah atau dua kaki– terdapat gips, maka ia boleh untuk mengusapnya. (Demikian) menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan imam empat dan ulama lainnya.[24] Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut:
- Hadits Jabir tentang orang yang luka di kepalanya. Yaitu sabda Nabi: Sesungguhnya sudah cukup baginya untuk mengikat kain pada lukanya lantas mengusapnya.[25] Hadits ini lemah.
- Pernyataan Ibnu ‘Umar : “Barangsiapa mempunyai luka yang sudah diikat dengan kain, maka ia berwudhu` dan mengusap ikatan tadi, dan membasuh daerah sekitar ikatan-ikatan tersebut”.[26] Dan dalam masalah ini, tidak ada penentangan kepada Ibnu ‘Umar dari kalangan sahabat.
- Dalil Qiyas kepada mengusap khuf. Sesungguhnya mengusap khuf dalam kondisi yang tidak mendesak boleh. Bagaimana dengan mengusap permukaan gips yang merupakan kejadian darurat? Tentunya lebih pantas untuk diperbolehkan.
Ibnu Hazm malah menyatakan, orang yang pada tubuhnya terdapat perban, maka ia tidak boleh mengusapnya, justru hukum bagian yang diperban tadi gugur.[27]
Aku katakan: Keterangannya tadi, lantaran ia melemahkan hadits-hadits tentang mengusap ikatan-ikatan, tidak menilai Qiyas sebagai hujjah. Seperti yang dikatakannya, hadits-hadits ini tidak sah. Tidak diragukan lagi, bahwa Qiyas merupakan hujjah apabila terpenuhi berbagai rukun dan syarat-syaratnya. Namun bisa dikatakan, bahwa Qiyas dalam masalah ini fasid (rusak, tidak tepat) lantaran perbedaan hukum far’inya (……) dengan masalah aslinya. Jenis ini merupakan Qiyas masalah yang wajib (mengusap perban menurut pandangan jumhur ulama) terhadap perkara mubah (mengusap khuf). Maka dengan demikian, madzhab Ibnu Hazm menjadi terlihat tepat. Wallahu a’lam.
Beberapa Faidah:
- Mengusap permukaan gips sudah memadai dalam wudhu` dan mandi, tanpa ada perbedaan. Karena balutan perban sifatnya darurat, sehingga tidak perlu dibedakan pada hadats kecil maupun besar. Berbeda halnya dengan mengusap khuf, yang statusnya rukhsah.
- Tidak disyaratkan thaharah pada proses melekatkan bahan gips atau penetapan batasan waktu. Pembalutan perban pada seseorang, tidak disyaratkan dalam keadaan thaharah. Karena ini bertentangan dengan orientasi syariat dalam memperbolehkan mengusap (pada permukaan gips), yaitu berupa pengguguran kesempitan dan kesusahan. Karena pelekatan gips sifatnya darurat, muncul tiba-tiba. Ini berbeda dengan mengusap khuf. Selain itu, karena tidak ada nash atau Ijma’. Begitu pula, tidak ada batasan waktu untuk mengusap permukaan gips. Kapan saja dilepas atau jika bagian tersebut sudah sembuh, maka tidak boleh mengusapnya lagi.
- Perban-perban medis yang dilingkarkan pada bagian-bagian tubuh mempunyai hukum yang sama dengan gips, sebagaimana telah dikaji intensif oleh Syaikhul Islam. Wallahu a’lam.
Oleh: Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Kamil.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Comments
Post a Comment